Breaking News

Home / Berita Unggulan / Pendidikan

Kamis, 5 Juni 2025 - 18:15 WIB

Kebijakan Publik Bukan Alat Kekuasaan, Tegas Gabriel Lele

Gabriel Lele bersama Istri sebelum pengukuhan(Foto: Herman)

Gabriel Lele bersama Istri sebelum pengukuhan(Foto: Herman)

Kilasinformasi.com, YOGYAKARTA – Prof. Dr. Phil. Gabriel Lele, S.IP., M.Si., dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Tata Kelola Kebijakan Publik, Kamis (5/6), di Balai Senat UGM.

Dalam pidato pengukuhan berjudul “Democracy Beyond Election: Kebijakan Publik Agonistik sebagai Agenda Transformasi”, Prof. Gabriel menyoroti pentingnya membangun demokrasi yang tidak hanya berhenti pada prosedur elektoral, melainkan terus hidup dalam proses kebijakan publik yang transformatif dan berpihak pada warga.

“Demokrasi tidak boleh berhenti pada pemilu, tetapi mesti hidup dalam kebijakan publik sebagai ruang perjumpaan yang setara antarwarga,” tegasnya.

Foto: Herman

Kritik terhadap Kebijakan Publik yang Elitis dan Eksklusif

Prof. Gabriel mengungkapkan bahwa kebijakan publik di Indonesia sering kali menjelma menjadi paradoks: alih-alih menyelesaikan persoalan, justru memunculkan konflik-konflik baru. Ia mencontohkan berbagai kebijakan kontroversial seperti pemindahan Ibu Kota Negara, program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Koperasi Merah Putih, hingga proyek strategis nasional (PSN) lainnya.

Menurutnya, kebijakan semacam itu mencerminkan kecenderungan untuk menutup ruang partisipasi publik dan mengabaikan keberagaman suara warga.

“Kebijakan publik tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, tapi harus menjadi arena perbedaan yang setara,” ujarnya.

Tiga Patologi Kebijakan Publik

Lebih lanjut, ia mengidentifikasi tiga patologi dalam praktik kebijakan publik nasional, yakni:

  1. Populisme: kebijakan yang memanfaatkan sentimen massa tanpa mempertimbangkan pluralitas,
  2. Otoritarianisme: dominasi kekuasaan yang mengabaikan partisipasi,
  3. Penyeragaman kebijakan: menghapus keragaman lokal dan konteks sosial.

Gabriel menekankan bahwa cara pandang yang menolak konflik dan keberagaman ini berbahaya bagi demokrasi. Masyarakat sering diposisikan sebagai objek pasif alih-alih subjek aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Baca Juga:  Wamenpar: Lulusan Pariwisata Indonesia Memiliki Peluang Besar di Pasar Global

“Kebijakan publik sering disusun dalam ruang tertutup, padahal harusnya menjadi ruang terang tempat semua suara bisa didengar,” ungkapnya.

Baca Juga, Kilasinformasi: Uji Coba Helikopter Mendarat di Kantor Bupati Raja Ampat, Tingkatkan Akses Pelayanan Publik

Tawarkan Pendekatan Agonistik

Untuk menjawab tantangan tersebut, Prof. Gabriel menawarkan pendekatan agonistik—suatu kerangka yang mengakui konflik sebagai bagian esensial dari kehidupan demokratis. Alih-alih menolak perbedaan, pendekatan ini justru merayakannya sebagai sumber kekuatan dan inovasi dalam merumuskan kebijakan.

“Kita membutuhkan lebih banyak respectful conflict daripada konsensus semu,” katanya.

Ia juga menyoroti pergeseran makna dari “kebijakan publik” menjadi “kebijakan pemerintah”, yang menurutnya telah menyebabkan keterputusan antara rakyat dan proses pengambilan keputusan. Transformasi menuju model kebijakan yang lebih demokratis, menurutnya, tidak cukup dilakukan di level institusi, tapi juga harus menyentuh perubahan cara berpikir dan mengajar kebijakan itu sendiri.

Peran Strategis Universitas

Di akhir pidatonya, Prof. Gabriel mengajak universitas untuk mengambil peran strategis dalam membentuk ekosistem akademik yang kritis, plural, dan demokratis.

“Universitas harus menjadi arena multiversitas yang memupuk pluralitas tanpa kehilangan komitmen pada persatuan,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus melahirkan lulusan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki keberpihakan moral terhadap nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan.

Tari penyambutan dari NTT setelah pengukuhan (foto: Herman]

Penguatan Posisi Akademik UGM

Ketua Majelis Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., menyampaikan bahwa dengan pengukuhan ini, Prof. Gabriel Lele menjadi bagian dari 531 Guru Besar aktif di UGM, sekaligus memperkuat barisan 39 Guru Besar aktif di FISIPOL UGM.

“Capaian ini memperkuat posisi UGM sebagai pusat keunggulan akademik, khususnya dalam bidang tata kelola kebijakan publik,” ujar Prof. Baiquni. (Herman)

Share :

Baca Juga

Berita Unggulan

Drawing ASEAN U-23 Championship Mandiri Cup 2025: Indonesia dan Malaysia Bersua Lagi, Erick Thohir Antusias

Berita Unggulan

Gus Ipul Hadiri Peluncuran Cek Kesehatan Gratis: Kado Ulang Tahun Presiden Prabowo untuk Lansia

Berita Unggulan

Indonesia dan Singapura Bangun Zona Industri Hijau di Kepri, Dorong Energi Bersih Regional

Berita Unggulan

Perkuat SDM Pengelola BUMKal, Dinas PMK Sleman Fasilitasi Out Class di Klaten

Agama

Jaringan Aksi Lintas Iman Nusantara Gelar Ruwat Sukerta

Berita Unggulan

28.120 Jemaah Haji Reguler Sudah Lunasi Biaya Haji 1446 H, Siap Berangkat!

Berita Unggulan

Komitmen Presiden Prabowo: Wamentan Sudaryono Serap Gabah dengan HPP Rp6.500 untuk Kesejahteraan Petani

Berita Unggulan

Pecahkan Rekor MURI, 2.569 Umat Buddha Serentak Baca Kitab Suci Dhammapada