Breaking News

Home / Agama / Berita / Nasional / Opini

Senin, 20 Oktober 2025 - 18:35 WIB

Problematik NU dan Muhammadiyah Sama, Tradisionalisme Macet di NU dan Modernisme Stagnan di Muhammadiyah

YOGYAKARTA, voicejogja.com – Di NU itu ada banyak irisan politik yang kalau kita lihat dari luar terkesan tidak padu dan beragam. Ada NU yang secara geneologi keluarga atau biologis memang warga NU sejak lahir.

Ada pula warga NU karena ikatan lahir batin antara santri sebagai murid dan sang Kiai sebagai tuan guru dalam pesantren atau padepokan.

Ada NU yang dari sebab minat dan hasratnya yang kuat untuk beraktivitas organisasi kemudian jadi aktivis ormas, lembaga swadaya masyarakat atau bahkan partai politik.

Orang orang NU yang qua geneologi keluarga besar maupun aktivis sosial politik atau sosial-budaya, pada umumnya punya tradisi mondok di pesantren di bawah asuhan serorang Kiai pondok.

Sehingga punya ikatan lahir batin antara guru dan murid sejak pada saat mondok maupun setelah alumni. Inilah basis sosial paling mengakar dari seorang warga NU jika kelak terjun sebagai aktivis maupun politisi.

Mengingat kodratnya yang beragam alih-alih keberadaan tunggal dan homogen, ketika berpolitik basis akar rumput dirinya itu ibarat kata cuma sekadar modal awal mendirikan sebuah PT. Namun untuk bisa berkembang apalagi ekspansif masih ada banyak hal lain yang harus dikapitalisasi.

Salah satu tantangannya adalah menjadikan dirinya sebagai simpul perekat dari ragam irisan-irisan tadi.

Kalau ada figur atau sosok NU yang punya reputasi dan karisma kuat maka secara alami ragam irisan-irisan itu akan menyatu sesuai aspirasi, harapan atau kepentingan masing masing irisan tadi. Maka si tokoh tadi bisa berfungsi jadi arsiran dari ragam irisan tadi.

Baca Juga:  Kemenekraf dan Pemprov DKI Jakarta Tandatangani Kesepakatan untuk Menjadikan Jakarta Kota Global Berbasis Ekonomi Kreatif

Masalahnya, setelah era Gus Dur, sosok arsiran NU dari ragam irisan tadi sepertinya semakin langka. Kalau tak mau dibilang tak ada sama sekali.

Saya lihat penyebabnya bukan hambatan atau tekanan eksternal. Melainkan karena nyala tungku api intelektual dari dalam dirinya entah kenapa lagi redup.

Kenapa nyala tungku dan bara api intelektualnya redup? Warga NU lah yang paling afdol menjawabnya. Namun sekadar hipotesis awal boleh lah. Kesan saya, bukan karena gagal mengaktualisasikan tradisi. Tapi tidak cukup imajinatif untuk menemukan sesuatu dari tradisi sebagai sumber inspirasi memodernisasikan masyarakat  yang berwatak Indonesia.

Walhasil, warga NU sebatas berkutat mereka ulang tradisi. Sehingga tak lahir gagasan gagasan besar untuk melahirkan orang orang modern khas Indonesia yang tercerahkan oleh tradisi. Tanpa menjadi tradisionalis apalagi epigon epigon modernisasi ala Barat.

Problematik NU dan Muhammadiyah saat ini sama. Sama sama stagnasi. Macet. Yang satu stagnasi dalam tradisionalisme. Satunya lagi stagnasi dalam modernisme.

Padahal tradisi dan modernitas menuntut hal yang sama jika ingin punya daya hidup dan daya tahan budaya. Kreativitas, Inovasi dan pemikiran kritis. (*)

Editor : Mukhlisin Mustofa/Red
Sumber : Diolah dari WhatsApp Hj. Hagia Sofia

Share :

Baca Juga

Berita Unggulan

Presiden Brasil Lula da Silva Disambut Meriah di Istana Merdeka, Simbol Eratnya Persahabatan Indonesia–Brasil

Berita Unggulan

IndoBuildTech & GAFA 2025 Tampilkan Inovasi Bahan Bangunan dan Teknologi Kaca Nasional

Berita Unggulan

Retret Tahap II, Gus Ipul Dengar Kisah Haru Kepala Sekolah Rakyat yang Pernah Hidup Miskin

Berita

Pemkab Sleman Beri Apresiasi Para Wajib Pajak Panutan, Harda Optimis Lampaui Target

Berita Unggulan

Menag Bawa Pulang Peluang Emas: Kerja Sama Internasional Pendidikan Keagamaan Diperluas

Berita Unggulan

Pemerintah Siapkan Regulasi Baru untuk Media Digital dan Konvensional, Antisipasi Gelombang PHK

Agama

Sebanyak 50 Guru TPA Kalurahan Condongcatur dan Caturtunggal Ikuti Pembinaan Badkoda Sleman

Nasional

Kemenperin Raih Peringkat ke-6 Terbaik pada Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024, Terus Tingkatkan Pelayanan Publik