Breaking News

Home / Berita Unggulan / Budaya / Favorite / Lifestyle / Opini

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 09:42 WIB

Iwan Wijono: Seni Sebagai Laku Kesadaran dan Penyembuhan Semesta

Iwan Wijono memaknai seni sebagai laku kesadaran dan penyembuhan semesta, menghubungkan raga, rasa, dan jagad dalam keseimbangan hidup. foto: Istimewa

Iwan Wijono memaknai seni sebagai laku kesadaran dan penyembuhan semesta, menghubungkan raga, rasa, dan jagad dalam keseimbangan hidup. foto: Istimewa

“Rasa iku tatananing urip. Yen rasa ilang, urip ora duwe arah.”
(Rasa adalah penataan hidup. Bila rasa hilang, hidup kehilangan arah.)

Yogyakarta, VoiceJogja.com – Dalam jagat kehidupan modern yang serba cepat, seni sering kali terperangkap dalam ruang estetika yang steril: dipamerkan, dikonsumsi, lalu dilupakan. Padahal dalam akar kebudayaan Nusantara, seni bukan sekadar ekspresi, melainkan laku kesadaran, sarana untuk memahami kehidupan, merawat keseimbangan, dan menyembuhkan diri serta semesta.

Iwan Wijono menegaskan bahwa seni sejati lahir dari kesadaran yang hidup, bukan dari ambisi visual atau intelektual belaka. Dalam tubuh, rasa, dan napas seniman, energi semesta menari, menghidupkan setiap gerak, warna, dan suara. Di titik inilah, karya seni menjadi meditasi kolektif: pengalaman transformatif yang menggugah manusia untuk kembali hadir secara penuh dalam keberadaannya.

“Sapa ngerti rasa, bakal nyumurupi sangkan paraning dumadi.”
(Barangsiapa memahami rasa, ia akan mengenali asal dan tujuan hidup.)

Melalui Performance Klub dan Yayasan Pancasani Nusantara, Iwan menciptakan ruang lintas disiplin yang menghubungkan seni, spiritualitas, dan ekologi sosial. Baginya, panggung bukan hanya tempat pertunjukan, tetapi ruang perjumpaan batin antara manusia, alam, dan kesadaran kolektif. Setiap performansenya adalah ritual kontemporer , sebuah doa yang lahir dari tubuh manusia dan ditujukan bagi keseimbangan bumi.

Dalam konteks akademik, gagasan ini memiliki resonansi kuat dengan teori “aesthetic consciousness” dan pendekatan ekopsikologi. Seni tidak lagi dipahami sebagai representasi realitas, melainkan sebagai proses eksistensial yang menumbuhkan embodied awareness, kesadaran yang terletak dalam pengalaman langsung tubuh dan alam.

Para pemikir seperti Maurice Merleau-Ponty maupun David Abram menekankan bahwa tubuh adalah “medium pertama dari makna” dan “alat persepsi spiritual.” Dalam tradisi Jawa, hal ini sejajar dengan konsep “rasa sejati”,  kesadaran yang melampaui pikir dan logika, hadir melalui kepekaan dan olah batin.

Baca Juga:  Pecahkan Rekor MURI, 2.569 Umat Buddha Serentak Baca Kitab Suci Dhammapada

Iwan menafsirkan wellness bukan sebagai gaya hidup, melainkan kesadaran ekologis yang utuh. Ia mengajak kita menyadari bahwa kesejahteraan manusia tak terpisah dari kesehatan bumi. Bahwa luka sosial, krisis iklim, dan kekerasan budaya adalah cermin dari ketidakseimbangan batin kolektif kita. Maka seni, dalam pengertian terdalamnya, adalah aksi penyembuhan, ritus untuk menyalakan kembali rasa.

“Manungsa urip kudu nyawiji karo alam, amarga saka kono urip iki mili.”
(Manusia harus menyatu dengan alam, sebab dari situlah hidup mengalir.)

Sebagai penghayat yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Iwan membawa nilai-nilai kebatinan Nusantara ke dalam praksis artistik yang universal. Ia menjembatani yang sakral dan yang profan, yang tradisional dan yang eksperimental. Dalam setiap gerak dan karya, ia menegaskan: spiritualitas bukanlah dogma, melainkan kebebasan untuk mengalami hidup secara langsung dan sadar.

Seni yang ia bangun bukan untuk disembah, tetapi untuk membangunkan, agar manusia ingat bahwa dirinya bagian dari tatanan kosmis yang saling menyinari. Maka ketika tubuh penari berguncang, suara gamelan berdengung, atau arang membara di atas tanah, sesungguhnya semesta sedang berbicara: “Ingatlah, engkau hidup bersama yang lain.”

“Urip iku urup.”
(Hidup adalah nyala — dan nyala itu harus menyalakan yang lain.)

Dalam dunia yang semakin dingin dan terfragmentasi, Iwan Wijono mengembalikan seni kepada fungsinya yang paling purba: menyambung yang tercerai, menghidupkan yang hening, menyembuhkan yang terluka.
Seni baginya bukan sekadar karya, melainkan doa yang bergerak, a living consciousness, kesadaran yang menjelma menjadi tindakan, menjadi perubahan, menjadi cahaya kecil yang terus menyalakan dunia.

Penulis: Iwan Wijono – Yayasan Pancasani Nusantara / Performance Klub

Share :

Baca Juga

Berita Unggulan

Interregnum Prancis: Blokade Jalan Jadi Cermin Krisis Demokrasi Modern

Berita Unggulan

Waspadai COVID-19 Gelombang Baru di Luar Negeri

Berita Unggulan

Wamenpora Dukung Pembangunan GOR di Papua Tengah

Berita Unggulan

Indonesia Resmi Gabung BRICS Sports Group, Siap Tancapkan Kuat Diplomasi Global lewat Olahraga

Berita Unggulan

Kemensos Salurkan Bantuan Senilai Rp568 Juta untuk Korban Banjir Bandar Lampung

Berita

Sleman Creative Weeks Resmi Dibuka, Danang: Perkuat Identitas Sleman sebagai Daerah Tujuan Wisata

Berita Unggulan

Kemenperin Luncurkan Siprosatu, Dorong Digitalisasi Industri Hilir Sawit Nasional

Berita Unggulan

Rahasia Manajemen Stres!