YOGYAKARTA, 22 Oktober 2025 – Manusia sepanjang sejarah selalu mencari cara memahami dunia. Pada masa Yunani kuno dunia dipandang sebagai kosmos, suatu keteraturan yang mengandung harmoni. Alam bukan sekadar kumpulan benda, melainkan sesuatu yang hadir bersama manusia. Pandangan ini bergeser ketika modernitas datang. Revolusi industri, ilmu pengetahuan, dan teknologi mengubah cara kita melihat dunia. Alam tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang hidup, tetapi sebagai cadangan energi, bahan baku, dan sumber daya untuk diolah.
Martin Heidegger, seorang filsuf abad ke-20, menyebut cara pandang ini sebagai Gestell, suatu kerangka pikir yang menempatkan segala sesuatu sebagai tersedia, siap dipakai dan dieksploitasi. Ia menulis bahwa bahaya terbesar bukan kerusakan alam semata, melainkan hilangnya kemampuan manusia untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya. Ketika kita hanya melihat hutan sebagai kayu, laut sebagai ikan, atau udara sebagai karbon, kita sebenarnya telah kehilangan kedekatan dengan ada.
Krisis iklim hari ini bisa dibaca sebagai akibat dari cara pandang itu. Konsumerisme modern mendorong kita untuk terus mengonsumsi bahkan melampaui kebutuhan dasar. Barang tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang mendukung kehidupan, melainkan sebagai penanda status, gaya, atau identitas. Dalam kerangka ini, alam tak lebih dari gudang bahan baku bagi hasrat yang tidak pernah selesai.
Namun cara pandang manusia terhadap ada tidaklah tunggal. Jika kita menoleh ke masyarakat adat, misalnya dalam cara mereka memandang hutan, terlihat perbedaan mendasar. Hutan bukan sekadar kayu atau lahan, melainkan rumah leluhur, ruang hidup roh, dan bagian dari keseimbangan kosmos. Hubungan dengan hutan adalah hubungan timbal balik, manusia mengambil seperlunya sekaligus menjaga agar hutan tetap hidup. Sebaliknya dalam pandangan modern, hutan cenderung dipersempit menjadi sumber daya untuk dieksploitasi. Perbedaan cara menghayati inilah yang membuat manusia modern sering terputus dari kedalaman makna.
Hal yang sama terlihat dalam hubungan antar manusia. Dalam masyarakat perkotaan modern, pertemanan sering kali bersifat transaksional, terikat pada jaringan kerja, keuntungan, atau kepentingan tertentu. Sementara pada komunitas adat, pertemanan lebih dipahami sebagai ikatan empatik, keterhubungan yang melibatkan saling merawat dan mendukung. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana cara pandang terhadap ada ikut membentuk relasi sosial, bukan hanya relasi dengan alam.
Heidegger mengingatkan bahwa bahaya terbesar dari cara pandang modern adalah hilangnya kedekatan manusia dengan ada. Namun ia juga percaya ada jalan keluar, yaitu membuka diri pada cara lain dalam menghayati keberadaan. Itu bukan berarti menolak teknologi, melainkan menemukan kembali cara memandang dunia bukan semata sebagai objek, tetapi sebagai sesuatu yang hadir bersama kita.
Krisis iklim dan konsumerisme dengan demikian tidak hanya persoalan teknis tentang energi terbarukan atau ekonomi hijau. Ia juga menyentuh sesuatu yang lebih dalam, yaitu bagaimana manusia memandang keberadaan itu sendiri. Mungkin dengan belajar kembali dari cara masyarakat adat memandang hutan atau cara mereka memelihara persahabatan, kita dapat menemukan alternatif. Bukan sekadar solusi praktis, tetapi perubahan cara menghayati kehidupan. (*)



















