
YOGYAKARTA, jogja.expost.co.id – Yayasan Taman Sesaji Nusantara didukung oleh berbagai komunitas budaya, kelompok lintas iman dan organisasi masyarakat menginisiasi gerakan Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari, Selasa (9/9/2025) malam, bertempat di Jalan Malioboro.
“Acara ini akan diselenggarakan di sepanjang Jalan Malioboro, titik kumpul di depan Hotel INA Garuda. Peserta berbaju adat dan tanpa alas kaki. Tepat jam 20.07 WIB, acara akan dimulai dengan pengarahan dari panitia,” ucap Farhan.
“Selanjutnya, peserta membentuk barisan kemudian perlahan bergerak ke selatan menuju Titik Nol dengan tapa bisu,” sambung Farhan, Korlap acara menyampaikan dengan singkat dan padat kepada media ini, Minggu (7/9/2025) siang.
Melalui pesan WhatsApp, Ketua Taman Sesaji Nusantara, Eko Hand, kepada media ini juga menuturkan detail Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari yang bakal digelar, Selasa (9/9/2025) mendatang. Berikut penjelasannya.
Berjalan dengan sunyi, tanpa suara, tanpa narasi dan tanpa seruan sikap. Berbicara melalui simbol-simbol sesaji sebagai bahasa komunikasi non verbal.
• Gedang Sanggan. Pisang raja setangkep dan isian sanggan. Simbolik Ageng engkang di pun gadang (harapan yang besar).
• Tumpeng kapuranta sebagai simbolik pemuliaan, permohonan maaf dan rasa sukur bahwa selama ini sudah dihidupi oleh tanah dan diperkenankan menumpang hidup diatas tanah.
• Tumpeng Tawa sebagai simbolik tolak bala dan penawar dari segala bentuk niat buruk.
• Tumpeng Robyong, simbolik tentang rasa sukur, juga harapan akan kemakmuran dan kesejahteraan hidup.
• Ingkung, Sejati kang jinangkung. Presentasi keinginan diri yang mendasar, sejujur-jujurnya yang sedang dialami dan sedang dirasakan memenuhi suasana batin.
• Jajan pasar, simbolik keberagaman, gotong royong dan kebulatan tekat antar unsur terkait.
• Tumpeng Panchabuta, simbolik harmonisasi manusia dengan alam dan unsur-unsur terkait di dalamnya yang sedang disharmoni.
Tapa ngrame atau lampah bisu dalam keramaian ini bisa dimaknai juga sebagai Lampah Samadhi Bantala atau Metode Meditasi Tanah yang dilakukan dengan cara berjalan membisu di keramaian tanpa alas kaki (nyeker), ini dimaksudkan untuk :
• Pribadi, peserta melakukan pembersihan diri dengan cara mentanahkan (groundhing) segala energi negatif, sakit penyakit dan segala bentuk kesialan hidup.
• Secara pandangan sosial, sebagai respon terhadap situasi masyarakat, mengharmoniskan gejolak sosial yang memanas, melebur (groundhing) rekayasa konflik, kepentingan politik negatif dan mengutuk segala perilaku penguasa/pejabat tamak, licik, dusta, sengkuni, koruptor dan lain-lain.
• Secara universal memuliakan alam. Mengharmonisasi manusia, leluhur dan setiap unsur organisme hidup di alam semesta.
“Sesampainya di Titik Nol, semua peserta duduk dengan formasi yang diatur oleh panitia. Pada sesi setelah ujub sesaji ini peserta melakukan peleburan tetap dengan diam. Secara natural dan jujur baik itu keinginan pribadi ataupun komunal,” pungkas Eko Hand, Ketua Taman Sesaji Nusantara, kepada media. (Eko Hand/Mbah M)
Editor: Mukhlisin Mustofa/Red



















