YOGYAKARTA, voicejogja.com – Menjelang peringatan boyongan kedaton, makam para Sultan Yogyakarta kembali dipenuhi para peziarah. Dari Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX, jejak kepemimpinan mereka seakan hidup kembali dalam ingatan kolektif masyarakat.
Pengamat Sosial Budaya sekaligus Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY, Agus Budi Rachmanto, menyatakan ziarah bukan sekadar ritual. Ia menjadi ruang refleksi, tempat nilai-nilai kepemimpinan diwariskan, dan pesan damai para Sultan kembali digaungkan lintas zaman.
Ziarah sebagai Cermin Ingatan Kolektif
Di bawah rindang pepohonan makam para Sultan, masyarakat menundukkan kepala dalam keheningan.
“Kehadiran mereka bukan hanya penghormatan, tapi juga kontemplasi. Kepemimpinan itu bukan semata urusan politik, melainkan tentang merawat keseimbangan hidup,” Jelas Agus saat ditemui, Sabtu (04/10/2025) sore di Taman Pintar Yogyakarta.
Dalam pandangannya, makam bukanlah batas akhir, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, hingga masa depan.
Setiap Sultan dikenang lewat warisan nilai:
Hamengku Buwono I sebagai pendiri tata negara Kesultanan,
Hamengku Buwono III dengan sikap welas asih,
Hamengku Buwono VII yang mendorong modernisasi,
Hamengku Buwono IX yang berjuang demi kemerdekaan.
Semuanya menegaskan satu hal: kepemimpinan adalah pengabdian, bukan dominasi.
Boyongan Kedaton: Jejak Sejarah, Jembatan Kehidupan
Tradisi boyongan kedaton memperingati perpindahan pusat pemerintahan ke Keraton Yogyakarta. “Peristiwa ini sarat makna simbolis: keterhubungan antara kerajaan dan rakyat, antara leluhur dengan generasi penerus,” papar Agus.
Bagi masyarakat Jawa, setiap peristiwa menyatu dalam kesatuan kosmos—antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Karena itu, ziarah di momentum boyongan kedaton bukan sekadar seremonial, tetapi pengingat untuk terus menghidupkan nilai damai, welas asih, dan nguwongke uwong—memanusiakan manusia.
Warisan Damai yang Tak Lekang Waktu
Dalam suasana hening ziarah, Agus menegaskan bahwa pesan damai para Sultan tetap relevan. Dari Sultan Agung yang mengukuhkan kedaulatan budaya, Hamengku Buwono I yang menata sistem negara dengan kearifan, hingga Hamengku Buwono IX yang memperlihatkan kepemimpinan egaliter.
“Kekuasaan tanpa welas asih hanyalah kekosongan. Warisan para Sultan harus dipahami maknanya, bukan sekadar diulang. Intinya adalah membangun perdamaian tanpa kekerasan, menegakkan demokrasi yang berakar pada martabat manusia,” ujarnya.
Merawat Demokrasi, Menjaga Kedamaian
Menurut Agus, peringatan boyongan kedaton tahun ini memberikan pesan kuat bahwa demokrasi sejati lahir bukan dari perebutan kekuasaan, melainkan dari kesadaran untuk saling menghormati dan merawat kehidupan bersama.
“Pusaka sejati bukanlah keris atau mahkota. Pusaka sejati adalah welas asih dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi,” pungkas Agus. (Tyo)
Editor : Mukhlisin Mustofa/Red




















