Breaking News

Home / Berita / Budaya / Daerah / Wisata

Selasa, 7 Oktober 2025 - 10:52 WIB

Meniti Pusaka Leluhur Ziarah Boyongan Kedaton dan Pesan Damai Para Sultan Yogyakarta

YOGYAKARTA, voicejogja.com – Menjelang peringatan boyongan kedaton, makam para Sultan Yogyakarta kembali dipenuhi para peziarah. Dari Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX, jejak kepemimpinan mereka seakan hidup kembali dalam ingatan kolektif masyarakat.

Pengamat Sosial Budaya sekaligus Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY, Agus Budi Rachmanto, menyatakan ziarah bukan sekadar ritual. Ia menjadi ruang refleksi, tempat nilai-nilai kepemimpinan diwariskan, dan pesan damai para Sultan kembali digaungkan lintas zaman.

Ziarah sebagai Cermin Ingatan Kolektif

Di bawah rindang pepohonan makam para Sultan, masyarakat menundukkan kepala dalam keheningan.

“Kehadiran mereka bukan hanya penghormatan, tapi juga kontemplasi. Kepemimpinan itu bukan semata urusan politik, melainkan tentang merawat keseimbangan hidup,” Jelas Agus saat ditemui, Sabtu (04/10/2025) sore di Taman Pintar Yogyakarta.

Dalam pandangannya, makam bukanlah batas akhir, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, hingga masa depan.

Setiap Sultan dikenang lewat warisan nilai:

Hamengku Buwono I sebagai pendiri tata negara Kesultanan,

Hamengku Buwono III dengan sikap welas asih,

Hamengku Buwono VII yang mendorong modernisasi,

Hamengku Buwono IX yang berjuang demi kemerdekaan.

Semuanya menegaskan satu hal: kepemimpinan adalah pengabdian, bukan dominasi.

Boyongan Kedaton: Jejak Sejarah, Jembatan Kehidupan

Tradisi boyongan kedaton memperingati perpindahan pusat pemerintahan ke Keraton Yogyakarta. “Peristiwa ini sarat makna simbolis: keterhubungan antara kerajaan dan rakyat, antara leluhur dengan generasi penerus,” papar Agus.

Baca Juga:  STIE Widya Wiwaha Dampingi KWT Tirta Rahayu Grojogan, Hasilkan Inovasi Olahan Sayur hingga Pemasaran Digital

Bagi masyarakat Jawa, setiap peristiwa menyatu dalam kesatuan kosmos—antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Karena itu, ziarah di momentum boyongan kedaton bukan sekadar seremonial, tetapi pengingat untuk terus menghidupkan nilai damai, welas asih, dan nguwongke uwong—memanusiakan manusia.

Warisan Damai yang Tak Lekang Waktu

Dalam suasana hening ziarah, Agus menegaskan bahwa pesan damai para Sultan tetap relevan. Dari Sultan Agung yang mengukuhkan kedaulatan budaya, Hamengku Buwono I yang menata sistem negara dengan kearifan, hingga Hamengku Buwono IX yang memperlihatkan kepemimpinan egaliter.

“Kekuasaan tanpa welas asih hanyalah kekosongan. Warisan para Sultan harus dipahami maknanya, bukan sekadar diulang. Intinya adalah membangun perdamaian tanpa kekerasan, menegakkan demokrasi yang berakar pada martabat manusia,” ujarnya.

Merawat Demokrasi, Menjaga Kedamaian

Menurut Agus, peringatan boyongan kedaton tahun ini memberikan pesan kuat bahwa demokrasi sejati lahir bukan dari perebutan kekuasaan, melainkan dari kesadaran untuk saling menghormati dan merawat kehidupan bersama.

“Pusaka sejati bukanlah keris atau mahkota. Pusaka sejati adalah welas asih dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi,” pungkas Agus. (Tyo)

Editor : Mukhlisin Mustofa/Red

Share :

Baca Juga

Daerah

Kerja Bakti Massal Mangrove Bali: Mensos Ajak Masyarakat Peduli Lingkungan dari Hal Kecil

Daerah

Musda XVI BPD HIPMI DIY: Peran Pemuda dalam Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dan Indonesia Emas 2045

Berita Unggulan

Mensos Apresiasi Pengusaha Bali yang Beri Kesempatan Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas

Berita

Dilepas Wali Kota Yogya, Ketua Pengadilan Negeri dan Kajari Yogyakarta Pamit Bareng

Daerah

TMMD Sengkuyung Tahap I 2025 Resmi Ditutup, Wakil Bupati Sleman Harapkan Dampak Positif bagi Kesejahteraan Masyarakat

Berita Unggulan

Lewat Jogja Cling di Malioboro, Hasto Wardoyo Ajak Komunitas Jaga Kebersihan dan Citra Kota Yogyakarta

Berita Unggulan

Wamenekraf Resmikan Board Game Corner Pertama di Indonesia

Berita

Pertashop Milik BUMKal Nyawiji Kalurahan Condongcatur Raih Terbaik 2 Nasional