Breaking News

Home / Berita Unggulan / Nasional

Kamis, 7 Agustus 2025 - 12:37 WIB

Nada Gamelan Sambut Rakernas JKPI 2025: Filosofi Jawa untuk Para Pemimpin

Nada gamelan iringi Welcome Dinner Rakernas JKPI 2025 di Yogyakarta, ajak kepala daerah renungkan makna kepemimpinan dan budaya. Foto: Istimewa

Nada gamelan iringi Welcome Dinner Rakernas JKPI 2025 di Yogyakarta, ajak kepala daerah renungkan makna kepemimpinan dan budaya. Foto: Istimewa

VoiceJogja, Yogyakarta — Suara lembut namun berwibawa menggema di Ballroom Hotel Tentrem, saat nada Nang, Neng, Nong dari gamelan tradisional Jawa mengalun menyambut kehadiran 56 bupati dan wali kota dari seluruh Indonesia dalam acara Welcome Dinner Rakernas Jaringan Kota Pusaka Indonesia 2025.

Nada-nada sederhana itu bukan sekadar musik. Mereka adalah bahasa budaya, penuh filosofi, menyuarakan nilai keselarasan, kebersamaan, dan kepemimpinan yang membumi.

Pertunjukan gamelan ini menjadi semakin bermakna karena diorkestrasi oleh Agus Budi Rahmanto, pengelola Taman Budaya Embung Giwangan, yang dengan sentuhan kuratorialnya menghadirkan suasana yang menyatukan rasa, tradisi, dan visi kepemimpinan masa depan.

Saat Ditemui Setelah acara, Agus menjelaskan tentang Makna “Nang, Neng, Nong” dalam Harmoni Jawa

Dalam gamelan Jawa, suara nang, neng, nong bukan hanya bunyi; ia adalah pola ritmis yang mewakili keseimbangan antara gerak, rasa, dan hening. Nada-nada itu mengajarkan:

Nang: isyarat awal — niat baik memulai sesuatu
Neng: titik tengah — saat kita hadir dan selaras
Nong: penutup yang memberi arah — bijak dalam menyelesaikan

“Nada-nada itu seperti dialog diam antar jiwa, menyatukan yang beragam dalam satu irama.” Kata Agus Rahman

Gundul-Gundul Pacul: Kritik Lembut untuk Pemimpin

Dalam sesi pertunjukan gamelan, lagu Gundul-Gundul Pacul dimainkan bersama 56 bupati dan wali kota peserta Rakernas sebagai refleksi. Lagu dolanan ini dipilih bukan tanpa makna.

Baca Juga:  Jordi Amat Resmi Perkuat Persija, Optimistis Cepat Beradaptasi di Liga 1

Gundul berarti kepala tanpa mahkota — pemimpin yang rendah hati.

Pacul adalah cangkul — simbol kerja dan pengabdian.

Gembelengan adalah peringatan — pemimpin yang sombong akan jatuh.

Segane dadi sak latar — rakyat jadi korban saat pemimpin lalai.

“Lagu ini menyuarakan falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang tidak boleh berlebihan, harus mengakar pada rakyat, dan selalu mengingat tanggung jawab yang diemban.” Tambahnya

Nada Kebersamaan dalam Kota Pusaka

Melalui iringan gamelan yang halus dan filosofis, para kepala daerah diajak untuk merenungkan nilai-nilai kepemimpinan:
Bahwa menjadi pemimpin bukan soal mahkota, tapi tentang mengayomi dan mengayun langkah bersama rakyat.

“Nada “nang, neng, nong” menjadi pengingat lembut, bahwa dalam keragaman kota-kota di Indonesia, yang paling penting adalah keselarasan dan rasa saling melengkapi, seperti gamelan yang tidak bekerja dalam solo, tapi dalam harmoni.” Pungkasnya.

Di tengah jamuan dan kebersamaan malam itu, Yogyakarta tidak hanya menyuguhkan makanan — tapi juga rasa, falsafah, dan nada.
Sebuah pembuka yang indah untuk Rakernas, tempat kota-kota di seluruh Indonesia bertemu dalam semangat pusaka, budaya, dan kebersamaan,
yang selaras dalam nada… nang, neng, nong.

Share :

Baca Juga

Berita Unggulan

PSIM Revans Manis, Kalahkan Bali United 3-1 di BRI Super League 2025

Berita Unggulan

MTsN 1 Jepara Ukir Prestasi di Kresna 2025, Bersiap Bawa Inovasi ke Korea Selatan

Berita Unggulan

Sertifikat Elektronik: Solusi Aman Dokumen Kepemilikan Tanah Menghadapi Risiko Bencana

Berita Unggulan

Taman Budaya Embung Giwangan Diresmikan

Berita Unggulan

Jeron Beteng: Sejarah yang Hidup, Budaya yang Menyatu, Masa Depan yang Disulam

Berita Unggulan

Industri Perfilman Indonesia Raih Keberhasilan Besar di Libur Lebaran 2025

Berita Unggulan

Makan Bergizi Gratis di Yogyakarta, Wali Kota Tegaskan Pentingnya Kebersihan Lingkungan!

Berita Unggulan

Mengelola Destinasi Wisata DIY ala Agus Budi Rachmanto: Filosofi Pohon Kehidupan untuk Pariwisata Berkelanjutan