YOGYAKARTA, voicejogja.com – Di NU itu ada banyak irisan politik yang kalau kita lihat dari luar terkesan tidak padu dan beragam. Ada NU yang secara geneologi keluarga atau biologis memang warga NU sejak lahir.
Ada pula warga NU karena ikatan lahir batin antara santri sebagai murid dan sang Kiai sebagai tuan guru dalam pesantren atau padepokan.
Ada NU yang dari sebab minat dan hasratnya yang kuat untuk beraktivitas organisasi kemudian jadi aktivis ormas, lembaga swadaya masyarakat atau bahkan partai politik.
Orang orang NU yang qua geneologi keluarga besar maupun aktivis sosial politik atau sosial-budaya, pada umumnya punya tradisi mondok di pesantren di bawah asuhan serorang Kiai pondok.
Sehingga punya ikatan lahir batin antara guru dan murid sejak pada saat mondok maupun setelah alumni. Inilah basis sosial paling mengakar dari seorang warga NU jika kelak terjun sebagai aktivis maupun politisi.
Mengingat kodratnya yang beragam alih-alih keberadaan tunggal dan homogen, ketika berpolitik basis akar rumput dirinya itu ibarat kata cuma sekadar modal awal mendirikan sebuah PT. Namun untuk bisa berkembang apalagi ekspansif masih ada banyak hal lain yang harus dikapitalisasi.
Salah satu tantangannya adalah menjadikan dirinya sebagai simpul perekat dari ragam irisan-irisan tadi.
Kalau ada figur atau sosok NU yang punya reputasi dan karisma kuat maka secara alami ragam irisan-irisan itu akan menyatu sesuai aspirasi, harapan atau kepentingan masing masing irisan tadi. Maka si tokoh tadi bisa berfungsi jadi arsiran dari ragam irisan tadi.
Masalahnya, setelah era Gus Dur, sosok arsiran NU dari ragam irisan tadi sepertinya semakin langka. Kalau tak mau dibilang tak ada sama sekali.
Saya lihat penyebabnya bukan hambatan atau tekanan eksternal. Melainkan karena nyala tungku api intelektual dari dalam dirinya entah kenapa lagi redup.
Kenapa nyala tungku dan bara api intelektualnya redup? Warga NU lah yang paling afdol menjawabnya. Namun sekadar hipotesis awal boleh lah. Kesan saya, bukan karena gagal mengaktualisasikan tradisi. Tapi tidak cukup imajinatif untuk menemukan sesuatu dari tradisi sebagai sumber inspirasi memodernisasikan masyarakat yang berwatak Indonesia.
Walhasil, warga NU sebatas berkutat mereka ulang tradisi. Sehingga tak lahir gagasan gagasan besar untuk melahirkan orang orang modern khas Indonesia yang tercerahkan oleh tradisi. Tanpa menjadi tradisionalis apalagi epigon epigon modernisasi ala Barat.
Problematik NU dan Muhammadiyah saat ini sama. Sama sama stagnasi. Macet. Yang satu stagnasi dalam tradisionalisme. Satunya lagi stagnasi dalam modernisme.
Padahal tradisi dan modernitas menuntut hal yang sama jika ingin punya daya hidup dan daya tahan budaya. Kreativitas, Inovasi dan pemikiran kritis. (*)
Editor : Mukhlisin Mustofa/Red
Sumber : Diolah dari WhatsApp Hj. Hagia Sofia




















