YOGYAKARTA, voicejogja.com – Yayasan Taman Sesaji Nusantara dan jejaring antar komunitas serta entitas lain di Yogyakarta bersama-sama membangun atmosfer Malioboro semakin selaras dan lekat dengan identitas kebudayaan.
Sesaji telah melekat dan mendapat tempat khusus sebagai sesuatu yang keramat (suci) di masyarakat Yogyakarta dan masyarakat Asia Tenggara Kepulauan.
“Hari ini perlu menghadirkan kembali Sesaji Selaras Jagat. Sesaji sebagai identitas kesakralan dan kekeramatan suatu tempat dalam membangun etika, moral dan sopan-santun pada tempat tersebut beserta situasi sosialnya,” kata Arif Ndoroklentheng yang juga Ketua Harian Taman Sesaji Nusantara, saat ditemui usai melakukan ritual sesaji, Rabu (15/10/2025) sore di Kawasan Malioboro.

Peletakan sesaji di Tengah Titik Nol Kilometer Kawasan Malioboro Kota Yogyakarta.
Malioboro sebagai jantung sosial, pariwisata, indikator kedamaian dan identitas seni-budaya Yogyakarta adalah ruang yang representatif untuk mengawali menghadirkan kembali Sesaji Selaras Jagat.
“Kedepan perlu dikemas dan dirapikan lagi dengan membentuk Bregodo Sesaji untuk mendapatkan esensi sakralitasnya,” ucap Hangno Hartono, budayawan Yogyakarta sekaligus Pembina Yayasan Taman Sesaji Nusantra.
Setelah selesai melakukan Ritual Selaras Jagat, di Titik Nol, dengan meletakkan Tumpeng Pancabhuta di papat keblat, kalima pancer Tumpeng Panchabhuta dan Sekar Pramuditha. Para pelaku ritual yang dipimpin Ketua Umum Yayasan Taman Sesaji Nusantara Eko Hand, melanjutkan meletakkan nyala dupa kemenyan di sepuluhan titik di sepanjang jalan Malioboro.
Selama ini sesaji memang selalu hadir dan mudah di jumpai di titik-tik keramat di Jogja dan seluruh wilayah Asia Tenggara kepulauan.
Dituturkan Eko Hand, Sesaji Selaras Malioboro adalah upaya mengembalikan tradisi keilmuan leluhur di ruang-ruang publik. Representasi (menghadirkan kembali) kekuatan alam semesta untuk mewujudkan harapan-harapan setiap manusia beserta seluruh entitas hidup yang melintas untuk mencapai tujuan dan kebahagiaan hidup.
“Menghadirkan kembali tradisi puja dan sepata (tuah dan tulah/kutukan), yang berniat baik akan mendapatkan kebahagiaan. Yang berinat buruk akan mendapatkan tulah/kutukan,” ucapnya. (*)
Editor : Mukhlisin Mustofa/Red



















