Data-Data Diolah dari berbagai rujukan terkait Sejarah Nusantara
YOGYAKARTA, voicejogja.com – Boleh jadi kedua orang tua Purbaya Yudhi Sadewa senang sejarah, dan senang dongeng dongeng kerajaan nusantara, sehingga akhirnya memilih nama putranya, Purbaya. Menurut rujukan kitab-kitab leluhur yang ditulis beberapa pujangga Mataram maupun Banten, sosok Purbaya ini tergolong jenis aktor protagonis kalau nggak mau disebut sebagai model cerita-cerita epik kepahlawanan sebagai suri tauladan.
Pangeran Purbaya dalam lintasan sejarah nusantara ternyata ada tiga wajah. Pertama berasal dari Kesultanan Mataram, yang kedua dari Kesultanan Banten, dan yang terakhir berasal dari Kasunanan Kartasura yang notabene juga kerajaan Mataram sebelum terbelah dua pada 1755. Mari kita urai satu per satu.
Pangeran Purbaya dari Mataram
Pangeran Purbaya dari Mataram, semula nama aslinya adalah Jaka Umbaran. Ia merupakan putra dari Panembahan Senopati yang lahir dari istri putri Ki Ageng Giring. Oh ya, Panembahan Senopati itu adalah gelar dari Sultan pertama Kerajaan Mataram, yang nama aslinya adalah Danang Sutajawijaya, menantu dari Sultan Hadiwiyaya, Pajang, adapun Hadiwijaya yang bernama asli Joko Tingkir atau mas Karebet, adalah menantu dari Sultan Trenggono, Sultan ketiga dari Kesultanan Islam pertama di Jawa, Demak Bintoro.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, entah ini cuma dongeng alias mitologi atau memang beneran merupakan fakta sejarah, syahdan Ki Ageng Giring menemukan kelapa muda ajaib yang jika airnya diminum sampai habis dalam sekali teguk, akan menyebabkan si peminum dapat menurunkan raja-raja tanah Jawa. Tanpa sengaja air kelapa muda itu terminum habis oleh Ki Ageng Pamanahan yang bertamu ke Giring dalam keadaan haus.
Ki Ageng Pamanahan merasa bersalah setelah mengetahui khasiat air kelapa ajaib itu. Ia lalu menikahkan putranya, yaitu Sutawijaya dengan anak perempuan Ki Ageng Giring. Namun setelah nikah Sutawijaya, entah alasan apa, kemudian pamit pulang kembali ke Mataram dan meninggalkannya dalam keadaan mengandung.
Putri Giring kemudian melahirkan Jaka Umbaran (diumbar dalam bahasa Jawa artinya “ditelantarkan”). Setelah dewasa Jaka Umbaran pergi ke Mataram untuk mendapat pengakuan dari ayahnya. Saat itu Sutawijaya sudah bergelar Panembahan Senopati. Melalui perjuangan yang berat, Jaka Umbaran akhirnya berhasil mendapat pengakuan sebagai putra Mataram dengan gelar Pangeran Purbaya. Nah sampai di sini, ada temuan penting dari kisah sejarah ini. Nama Purbaya pada perkembangannya jadi simbol sosok yang kodratnya selalu mengalami pengalaman yang tidak biasa, tidak lazim dan tentunya juga, terbiasa secara nalurian berpikir dan bertindak di luar pakem.
Naskah babad mengisahkan putra Panembahan Senopati yang paling sakti ada dua. Yang pertama adalah Raden Rangga yang mati muda, sedangkan yang kedua adalah Purbaya. Ia merupakan pelindung takhta Mataram saat dipimpin keponakannya, yaitu Sultan Agung (1613-1645). Dengan kata lain, Pangeran Purbaya yang satu ini selain paman, juga bisa dibilang mentor atau sekondan politik.
Tapi apa benar sejatinya cuma mentor dan penasehat strategis Sultan Agung, lagi-lagi entah ini cuma dongeng atau memang kenyataan sejarah, masyarakat Jawa percaya kalau Sultan Agung sebenarnya putra kandung Purbaya. Konon, Sultan Agung sewaktu bayi sengaja ditukar Purbaya dengan bayi yang dilahirkan istrinya. Kisah ini seolah berpendapat kalau Sultan Agung adalah perpaduan darah Mataram dan Giring. Tapi kalau menurut saya, betapapun itu cuma mitologi atau dongeng sekalipun, ada poin penting di sini. Ada hubungan masa lalu antara keluarga Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan yang ibarat bara dalam sekam, sehingga jalinan cerita tadi, untuk membangun citra bahwa hubungan antara kerajaan Mataram dan Giring sejatinya dalam keadaan baik-baik saja. Namun lepas dari itu, tidak berarti mengesampingkan fakta bahwa ada watak istimewa yang terkandung dalam sosok Pangeran Purbaya itu al Mataram ini.
Pangeran Purbaya hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Dan dalam fase Sultan Amangkurat I yang dalam catatan sejarah pernah membunuh 600 ulama Jawa itu, Purbaya nyaris menjadi korban yang ikut dibantai juga, ketika Amangkurat I menumpas ratusan ulama yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya.
Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung).
Namun sudah suratan takdir kalau Purbaya akhirnya meninggal dunia bulan Oktober 1676 di era Amangkurat I.

Pangeran Purbaya (Mataram). Foto : Dok. Dinas Pariwisata DIY.
Pangeran Purbaya dari Banten
Pangeran Purbaya yang kedua lain lagi ceritanya. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten yang bertahta antara 1651 hingga 1683. Ia mendukung perjuangan ayahnya dalam perang melawan VOC Belanda yang bermaksud menjajah bumi Banten pada tahun 1656.
Pangeran Purbaya juga diangkat menjadi putra mahkota baru karena Sultan Haji (putra mahkota sebelumnya) memihak VOC. Setelah berperang sekian lama, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tertangkap bulan Maret 1683, dan Banten pun jatuh ke tangan VOC.
Pangeran Purbaya dan istrinya yang anti VOC bernama Raden Ayu Gusik Kusuma lalu melarikan diri ke Gunung Gede. Penderitaan Purbaya membuat dirinya memutuskan untuk menyerah.
Namun, ia hanya mau dijemput oleh perwira VOC yang berdarah pribumi. Saat itu VOC sedang sibuk menghadapi gerombolan Untung Suropati. Kapten Ruys pemimpin benteng Tanjungpura berhasil membujuk Untung Suropati agar bergabung dengan VOC daripada hidup sebagai buronan.
Untung Suropati bersedia. Ia pun dilatih ketentaraan dan diberi pangkat Letnan. Untung Suropati kemudian ditugasi menjemput Pangeran Purbaya di tempat persembunyiannya. Namun datang pula pasukan VOC lain yang dipimpin Vaandrig Kuffeler, yang memperlakukan Purbaya dengan tidak sopan.
Sebagai seorang pribumi, Untung Suropati tersinggung dan menyatakan diri keluar dari ketentaraan. Ia bahkan berbalik menghancurkan pasukan Kuffeler. Pangeran Purbaya yang semakin menderita memutuskan tetap menyerah kepada Kapten Ruys di benteng Tanjungpura.
Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.
Sedangkan istrinya Gusik Kusuma konon pulang ke negeri asalnya di Kartasura dengan diantar Untung Suropati. Ini pun masih tanda tanya besar mana yang murni sejarah faktual dan mana yang dongeng alias mitologi. Tapi tetap saja menarik untuk menyelami alam pikir dan alam rasa orang orang Jawa terutama para elit kraton.

Pangeran Purbaya (Banten). Foto : Dok. Betawi Pos.
Pangeran Purbaya dari Kartasura
Pangeran Purbaya yang ketiga adalah putra Pakubuwana I raja Kartasura (1705-1719). Jadi ini di fase sebelum Kerajaan Mataram dibagi dua antara Solo/Surakarta dan Yogyakarta.
Sepeninggal sang ayah, Sunan Pakubowono I, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar berselisih dengan kakak mereka, yaitu Amangkurat IV (raja baru).
Amangkurat IV mencabut hak dan kekayaan kedua adiknya itu. Pangeran Purbaya masih bisa bersabar, namun Pangeran Blitar menyatakan pemberontakan.
Perang saudara pun meletus tahun 1719. Perang ini terkenal dengan nama Perang Suksesi Jawa Kedua. Pangeran Purbaya akhirnya bergabung dengan kelompok Pangeran Blitar. Mereka membangun kembali istana lama Mataram di kota Karta, dengan nama Kartasekar.
Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya sebagai penasihat bergelar Panembahan. Setelah Pangeran Blitar meninggal di Malang tahun 1721 karena sakit, perjuangan pun dilanjutkan Panembahan Purbaya.
Ia berhasil merebut Lamongan. Namun gabungan pasukan Kartasura dan VOC terlalu kuat. Purbaya akhirnya tertangkap bersama para pemberontak lainnya.
Panembahan Purbaya dihukum buang ke Batavia. Ia memiliki putri yang menjadi istri Pakubuwana II putra Amangkurat IV. Dari perkawinan itu lahir Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788. Yang berarti, Pakubuwana III raja Surakarta, bertahta antara sebelum dan sesudah terbelah dua antara Solo dan Yogya. Yang mana, Yogya menjadi wilayah kekuasaan Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamungkubuwono I.
Begitu ceritanya. Dari ketiga kilasan cerita ihwal Purbaya tadi, apa yang kita temukan dari sejarah atau bahkan kalau ini cuma dongeng sekalipun? Keutamaan sosok ketiga Purbaya ini adalah istimewa, justru bukan karena orang nomor satu. Tapi sebagai orang nomor dua yang berfungsi sebagai penggerak mesin. Bukan stabilisator melainkan dinamisator. Nasibnya bisa baik dan beruntung, namun bisa juga bernasib tragis. Tapi nggak masalah. Ketiga wajah Purbaya tadi, ketika ikhlas menjalani takdirnya yang berakhir tragis sekalipun, karena tidak sudi berkhianat pada kodrat diri dan panggilan jiwanya. (Mbah M)
Editor : Mukhlisin Mustofa/Red




















